Korupsi Kepala Daerah Bisa Pecahkan Rekor - DAILYSATU | PUSAT BERITA TERKINI & TERUPDATE

Breaking

Post Top Ad

test banner

Post Top Ad

test banner

Rabu, 28 Maret 2018

Korupsi Kepala Daerah Bisa Pecahkan Rekor


DAILYSATU-  Ketika jaksa membacakan tuntutan terhadap Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam 8 Maret lalu, masyarakat mendengar disebutkannya nilai kerugian negara yang fantastis, yakni Rp 4,32 triliun.
Angka tersebut memang tidak semata-mata kerugian tunai berdasarkan hitungan auditor negara, namun juga kerugian akibat kerusakan lingkungan yang dihitung pakar lingkungan terkait izin pertambangan yang diberikan gubernur dengan cara-cara koruptif.
Jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengembangkan wawasannya dalam kasus ini, karena dampak kerugian lingkungan dinilai tidak lebih rendah dibandingkan kerugian keuangan negara. Bahkan, bisa jadi lebih dahsyat.
Organisasi penggiat anti-korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa kerugian materiel yang diakibatkan perilaku korup gubernur ini adalah yang terbesar dalam sejarah persidangan korupsi dengan terdakwa individu.
“Nilai kerugian negara yang ditimbulkan hingga Rp 4,32 triliun sangat luar biasa dan paling tinggi dalam sejarah penuntutan perkara korupsi di Indonesia,” bunyi pernyataan ICW yang diterima redaksi, Selasa (27/3) malam.
“Apa yang dilakukan oleh Nur Alam tidak saja merugikan keuangan negara namun juga berdampak rusaknya lingkungan dalam waktu yang lama bahkan hingga turun menurun.”
Meskipun mengapresiasi KPK karena cakupan tuntutan yang melibatkan kerugian ekologis, ICW mempertanyakan tuntutan hukuman yang hanya 18 tahun.
Pasalnya, sejumlah terdakwa lain dengan kerugian negara lebih kecil pernah dituntut hukuman seumur hidup dan divonis konsisten dengan permintaan jaksa. Mereka misalnya terdakwa kasus kredit fiktif BNI Andrian Woworuntu (Rp 1,7 triliun), dua petinggi Bank Surya Bambang Sutrisno dan Adrian Kiki Aryawan dalam kasus penggelapan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Rp 1,5 triliun), dan mantan presiden komisaris Bank Harapan Sentosa Hendra Rahardja juga dalam kasus BLBI (Rp 1,9 triliun).
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi baru sekali memberi vonis seumur hidup, yakni untuk mantan ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dalam kasus suap sidang sengketa pemilihan kepala daerah. Vonis seumur hidup terbaru dijatuhkan oleh Pengadilan Militer kepada terdakwa Brigjen Teddy Hernayadi dalam kasus pengadaan di Kementerian Pertahanan.
Sebelum Berkuasa, Tangkap Dulu
Puluhan kepala daerah telah ditangkap dan sebagian divonis. Belum ditambah para anggota DPRD yang kasusnya juga tak jauh-jauh dari sang kepala daerah. Namun tindakan tegas KPK tersebut tidak menyurutkan terjadinya perilaku korup para “raja kecil” di daerah.
Berkaca dari kasus Nur Alam, skala korupsi di daerah bisa sangat masif dan berdampak langsung kepada rakyat di pelosok sampai lintas generasi akibat kerusakan ekologi.
Sebuah terobosan luar biasa dilakukan KPK dengan menghidupkan semua radarnya ketika Pilkada Serentak 2018 akan digelar. Antara 3 Februari dan 22 Maret, tujuh calon kepala daerah ditangkap atau dijadikan tersangka -- sebagian calon petahana -- karena bukti dan indikasi jelas adanya korupsi.
KPK menegaskan tidak akan membiarkan ajang pemilihan kepala daerah (pilkada) dinodai praktik korupsi oleh para calon kepala daerah. Hal ini untuk mencegah pilkada dijadikan pintu masuk bagi koruptor untuk meraih jabatan publik.
Dengan demikian, substansi dari demokrasi untuk memilih pemimpin di daerah yang berkompeten dan terutama berintegritas yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat dapat tercapai.
“Saya kira proses pilkada ini justru akan tercederai kalau korupsi marak di dalamnya. Untuk itu pemberantasan korupsi perlu dilihat sebagai bagian untuk mempertahankan demokrasi yang substansial,” kata juru bicara KPK Febri Diansyah awal bulan ini.
Tujuh calon kepala daerah yang bakal berlaga di Pilkada Serentak 2018 Juni mendatang telah ditetapkan tersangka.
Mereka yakni Bupati Ngada Marianus Sae yang merupakan calon Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), calon petahana Bupati Jombang Nyono Suharli, calon petahana Bupati Subang Imas Aryumningsih, Bupati Lampung Tengah Mustafa yang maju dalam Pilgub Lampung, mantan wali kota Kendari Asrun yang menjadi calon gubernur Sulawesi Tenggara, calon petahana Wali Kota Malang Mochamad Anton, dan calon wali kota Malang Ya'qud Ananda Budban.
Pada 6 Maret, Ketua KPK Agus Rahardjo mengungkapkan ada sejumlah kontestan Pilkada 2018 yang bakal ditetapkan sebagai tersangka. Agus meyakini 90% calon pemimpin daerah tersebut terindikasi korup.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menggarisbawahi bahwa gebrakan yang dilakukan sekarang ini semata-mata dalam koridor hukum, tidak sedikit pun terkontaminasi motivasi politik sempit.
"Tidak ada sedikit pun kepentingan dari KPK, apakah yang bersangkutan akan mengikuti hal-hal yang lain, misalnya pilkada. Saya pastikan untuk penetapan tersangka sudah barang tentu tidak ada pemikiran lain, hanya satu persyaratannya yaitu ditemukannya alat bukti," kata Basaria.
Tanggapan Parpol
Sore hari, Minggu, 11 Februari, ‎pesawat Garuda Indonesia Airways Bombadier CRJ 1000 NextGen ‎mendarat mulus di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Menempuh perjalanan dari Bandara Tambolaka, Kabupaten Sumba Barat Dayat, Nusa Tenggara Timur (NTT), pesawat itu transit terlebih dahulu di Bandara El Tari, Kupang. Dari Kupang, pesawat itu membawa penumpang ke Jakarta, termasuk Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dan Ketua DPP PDI Perjuangan Andreas Hugo Pareira.
Sesuai aturan, telepon seluler baru bisa dibuka setelah pesawat parkir di pelataran pesawat yang disiapkan. Ketika mode pesawat dinonaktifkan, dan jaringan seluler mulai tersambung, puluhan pesan masuk ke ponsel milih jurnalis Beritasatu yang turut dalam rombongan Hasto. Mayoritas mempertanyakan ‎kebenaran Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK terhadap Marianus Ngada, calon gubernur yang diusung PDI Perjuangan di Pilgub NTT. Marianus dipasangkan dengan Emi Nomleni.
Informasi soal OTT itu sontak membuat semua yang ada di rombongan Hasto panik. Sebab kunjungan mereka ke NTT barusan adalah dalam rangka konsolidasi pemenangan pasangan Marianus-Emi. Berdasarkan catatan Beritasatu, selama kegiatan itu, Marianus memang tidak pernah hadir. Sebuah hal aneh bagi seorang calon kepala daerah non-kader yang diusung PDI Perjuangan.
Yang membuat pusing, informasi itu datang kepada mereka tepat ketika penetapan calon gubernur-calon wakil gubernur akan ditutup dalam beberapa jam ke depan. Seandainya Marianus hendak diganti, proses di internal takkan cepat selesai. Plus tak ada penerbangan lagi dari Jakarta ke NTT‎ pada dini hari untuk mengantarkan dokumen pengajuan calon kepala daerah yang baru.
Belakangan, PDI Perjuangan mengumumkan bahwa Marianus-Emi tetap menjadi pasangan yang terlanjur didaftarkan ke KPUD NTT. Namun, sesuai aturan di PDI Perjuangan, mereka tak lagi mendukung Marianus‎ yang jadi tersangka karena OTT KPK.
Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan DPP PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, menyatakan pihaknya sangat menghormati kewenangan penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya. Namun dalam konteks penetapan para calon kepala daerah belakangan ini, tak bisa dilepaskan dari momennya.
Sejumlah penetapan itu, seperti yang terjadi dengan Marianus di NTT, dilaksanakan tepat sebelum masa akhir penetapan calon. Hal itu mau tak mau memunculkan analisis dengan menggunakan perspektif politik, yang seakan melihat KPK sebagai lembaga pemegang wewenang mengatur demokrasi.
"Jika OTT benaran, bisa dipahami. Tapi ada juga sejumlah penetapan yang berawal dari pengembangan kasus. Pada kasus seperti ini jadi dipandang politis, sebab timingnya diatur sehingga tahapan pilkada terganggu," kata Eva.
Kejadian belakangan membuat ada kesadaran baru, bahwa penegakkan hukum juga berpotensi menjadi metode termudah mendelegitimasi seorang calon. Plus membuat lapangan pertempuran politik menjadi terganggu untuk satu pihak, sekaligus menguntungkan buat lawannya.
"Ini jelas sudut pandang politis, siapa diuntungkan? Siapa dirugikan? Karena timing pentersangkaannya politis kan? Kesannya ada oknum di KPK jadi pemain, berpolitik juga. Tapi itu lagi, kepentingan siapa?" kata Eva.
Karena itulah, Eva mengakui pihaknya setuju ketika ada wacana yang membuat aturan yang memberi peluang bagi partai politik mengganti calon kepala daerah yang sudah menjadi tersangka hukum. Hal itu demi memastikan proses demokrasi di pemilihan kepala daerah tidak terganggu.
"Kasihan parpol jika kehilangan kesempatan menugaskan. Karena pada dasarnya, parpol juga jadi korban politisi atau calon yang ditersangkakan atau kena OTT tersebut," ujarnya.
Ketua ‎Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menyatakan pihaknya menghormati proses hukum oleh aparat, termasuk KPK, terhadap calon kepala daerah yang diduga korupsi. Diakuinya, pihaknya sudah berupaya cukup keras untuk mencegah dini pengusungan calon kepala daerah berpotensi jadi tersangka korupsi. Salah satunya adalah dengan membuat pakta integritas terhadap bakal calon kepala daerah yang hendak diusung.‎ Namun tetap saja belum ada cara untuk dapat memastikan calon kepala daerah yang diusungnya terhindar dari persoalan hukum seperti korupsi.
"Kalau pribadi-pribadi siapa yang bisa jamin? Tapi kita sudah punya pakta integritas. Bahwa begitu ada persoalan tentu dari pihak (kandidat) kita akan mengambil tindakan segera," ujar Airlangga.
Aturan Main Perlu Diubah
Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily juga menyatakan pihaknya setuju saja apabila aturan yang ada diubah demi memberi peluang penggantian calon yang sudah dijadikan tersangka. Namun, pihaknya lebih mendorong agar perubahan itu tak dilakukan melalui revisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) sebagaimana usul Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
Di dalam Undang-undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, kata Ace, disebutkan tegas bahwa calon kepala daerah yang telah ditetapkan sebagai calon kepala daerah dan memasuki tahapan kampanye, maka tak boleh ada lagi pergantian. Menurutnya, pasal mengenai hal itu bisa dilakukan revisi secara cepat. Menurutnya, masih ada waktu hingga hari pencoblosan pada 27 Juni untuk melakukan revisi.
‎"Ini agar partai politik bisa mengganti calon kepala daerah yang berstatus tersangka," kata Ace.
Cara lainnya adalah Presiden mengeluarkan ‎ peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) yang berisi pergantian substansi pasal dimaksud. Artinya, Perppu memberi kewenangan pada KPU untuk memberi waktu kepada partai politik mengganti calon kepala daerah yang berstatus tersangka.
Sebagai latar belakang, KPK sebetulnya sudah pernah mengusulkan kepada pemerintah untuk membuat Perppu dimaksud. Namun, Mendagri Tjahjo Kumolo sampai saat ini menilai bahwa revisi PKPU adalah cara terbaik dan tercepat.
Wakil Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat (PD), Andi Nurpati, menyatakan pihaknya ‎akan menghormati proses hukum oleh KPK seandainya ada calon kepala daerahnya yang jadi tersangka. Sebab partai itu menghormati dan takkan menghalang-halangi proses hukum.
Namun demikian, Andi Nurpati juga mengaku pihaknya sepakat bila ada revisi terhadap aturan pilkada menyangkut calon kepala daerah yang sudah menjadi tersangka. Sebaiknya ada aturan yang membolehkan parpol mengajukan calon pengganti.
Menurut Andi, cara terbaik adalah Pemerintah mengeluarkan Perppu. Instrumen itu adalah yang terbaik saat ini untuk mengubah aturan di dalam sebuah undang-undang. Dan itu bisa dilakukan dengan cepat.
"‎Kalau tidak, calon kepala daerah jadi tersangka dan terdakwa, tetap tak bisa diganti," kata Andi.
Baginya, aturan demikian sangat logis untuk dikeluarkan. Sebab partai politik sama sekali tak bersalah ketika si calon kepala daerah menjadi tersangka. Tak ada partai politik di Indonesia yang bisa mencampuri proses hukum. Dan tak ada juga yang boleh menghalangi proses hukum.
"Parpol takkan tahu bahwa seseorang itu pasti akan kena proses hukum. Kalau tahu sejak awal, kan pasti takkan diberi rekomendasi. Tak mungkin juga penegak hukum membocorkan proses hukum. Sehingga parpol takkan mungkin tahu," urai Andi yang juga mantan Komisioner KPU itu.‎
Pengamat Politik dan Pengajar Pascasarjana dari Universitas Indonesia, Ari Junaedi, menyatakan bahwa langkah Mendagri Tjahjo Kumolo tersebut bertujuan untuk mengatasi karut marut pilkada setelah calon kepala daerah menjadi tersangka. Kondisi itu membutuhkan adanya terobosan kewenangan kepada parpol untuk mengganti.
"Ide ini sah-sah saja dan itu ‎memang harus segera dilaksanakan," kata Ari.
Karyono Wibowo, Direktur Indonesian Publik Institute, menyatakan bahwa memang agak sumir ketika berbicara isu pentersangkaan calon kepala daerah oleh KPK.
Ketika hendak menuduh KPK tengah bermain politik, pasti itu akan selalu ditepis KPK dengan alasan tugasnya memang memberantas korupsi. Bagi KPK, kata Karyono, sejauh ada dua alat bukti yang cukup, seseorang pasti akan jadi tersangka. KPK juga tak kenal momentum apakah ini jelang pilkada atau tidak.
Di sisi lain, tak salah juga bila ada publik yang menganggap ada kepentingan politik di balik langkah KPK menjadikan calon kepala daerah sebagai tersangka. Sebab proses itu dilakukan di tengah proses pilkada, yang berarti KPK ikut arus ranah politik.
"Memang selalu ada dua perspektif yang kontrafidktif. Perspektif hukum dan politik. Keduanya selalu bertentangan bila menganalisa fenomena pentersangkaan oleh KPK," kata Karyono.
"Perspektif hukum formal tentu tak melihat ada masalah dengan langkah KPK. Sisi politik juga ada argumennya.‎ Saya kira keduanya punya argumen masing-masing dan sama-sama kuat."
‎‎
Namun kalau mau jujur, kata Karyono, karena momentumnya jelang pilkada dan ada aturan menyangkut pilkada, akan lebih banyak yang melihat dengan perspektif politik. Sehingga kemudian muncul wacana bahwa yang dirugikan paling besar sebenarnya adalah parpol pengusung.
Hal itu menyangkut adanya pasal di UU PIlkada yang membuat parpol tak bisa lagi menarik dukungan terhadap calonnya yang sudah jadi tersangka, apabila sudah ditetapkan. Parpol sendiri beralasan mereka tak bisa disalahkan karena tak tahu sejak awal soal calonnya berpotensi tersangka.
Karena itu pula, Karyono mengatakan bisa dipahami kalau Kemendagri mengusulkan adanya aturan baru yang menjadi solusi masalah ini.
"Satu orang yang salah, tapi merugikan banyak orang. Kalau disebut itu salah parpol, tapi parpol kan bilang mereka tak campuri hukum. Kalau mereka campuri hukum, tentu akan dianggap lebih jelek lagi," kata Karyono.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

test banner