DAILYSATU- Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan, jumlah pengguna Internet di Indonesia pada 2017 mencapai 143 juta jiwa dari total 262 juta penduduk.
Dengan jumlah pengguna yang sangat besar dan terus berkembang, faktor keamanan siber menjadi aspek yang sangat penting. Hadir di garda terdepan yakni Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang merupakan representasi negara di ranah siber.
Direktur Deteksi Ancaman BSSN, Sulistyo mengatakan, strategisnya dunia siber membuat banyak negara berkepentingan mengamankan kedaulatan siber sebagian bagian dari teritori konvensional. Apalagi, kedaulatan siber juga memiliki batas yang berbeda.
"Kalau dalam terminologi kedaulatan ruang konvensional, batas negara ditandai oleh koordinat, dan batas-batas alam yang diakui secara international oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Uniknya, di ruang siber batas-batasnya hanya berupa nomor internet protocol (IP)," kata Sulistyo, di Jakarta, Sabtu (5/5).
Sulistyo mengatakan, BSSN yang merupakan hasil transformasi Lembaga Sandi Negara (LSN), mendapat tugas tambahan untuk mendeteksi, mengidentifikasi, dan mencegah kejahatan siber sekaligus menjaga keamanan di dunia maya dengan mengonsolidasikan semua unsur yang terkait dengan keamanan industri siber di Indonesia. "Doktrin (dalam tugas) kita terkait Proteksi, Deteksi, Identifikasi Pemulihan dan Pengawasan dan Pengendalian (di dunia siber)," ujarnya.
BSSN Tidak Bisa Sendiri
Sulistyo mengatakan, tidak kurang 38 negara telah membuat organisasi sejenis BSSN untuk menangani keamanan di dunia maya. Dalam konteks regional, Indonesia sebenarnya telah dikelilingi negara-negara yang sudah memiliki badan sejenis. Negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Filipina, dan Australia sudah lebih dahulu mendirikan National Cyber Security Agency (NCSA) karena menganggap dunia siber tak kalah penting dengan mengamankan teritori fisik seperti udara, darat, dan laut.
"Berdirinya BSSN merupakan harapan dari Presiden Jokowi agar negara hadir memberikan keamanan di ruang siber. Namun, kami tidak bisa jalan sendiri. Multi stakeholder tentunya harus dilibatkan," ujarnya.
"Teman-teman dari asosiasi pun kita minta bantuannya, baik dari APJII, APJATEL (Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi), maupun ATSI (Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia)," kata Sulistyo.
Sayangnya, dalam konteks pengaturan dunia siber, Indonesia belum memiliki Undang-undang (UU) yang mengatur dunia internet secara menyeluruh.
"Yang penting adalah membangun tata kelola perundangan keamanan siber. Perlu adanya RUU mengenai keamanan siber. Kemudian, baru dari situ diturunkan dalam peraturan-peraturan yang kemudian secara paralel mengimplementasikan teknologi apa saja yang dibutuhkan," tandasnya.
Identifikasi Pengguna Internet
Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga di dewan pengurus Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Tedi Supardi Muslih mengatakan, ada banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan dalam tata kelola internet, untuk memastikan data pengguna terjamin keamanannya.
"Hal yang besar, seperti industri e-commerce, tanpa faktor keamanan bagaimana bisa tumbuh," ujar salah satu konseptor berdirinya BSSN ini.
"Hal yang bisa dilakukan ke depan adalah melakukan identifikasi pengguna internet. Idealnya, pengguna internet yang memakai IP, harus terhubung datanya dengan data dari dinas kependudukan dan pencatatan sipil (Dukcapil)," kata pria yang mencalonkan diri sebagai salah satu calon ketua umum APJII periode 2018-2021 ini.
Pakar Internet yang juga menjabat sebagai IT Cyber Security Specialistdi Tim Asian Games 2018 ini menambahkan, langkah Kominfo mewajibkan pengguna SIM Card untuk melakukan registrasi Nomor KTP dan Kartu Keluarga, merupakan terobosan besar yang bisa membawa keamanan lebih baik untuk dunia telekomunikasi di Indonesia.
"Itu langkah awal yang baik, yang harus segera di ikuti dengan agenda terkait lainnya, misalnya RUU ketahanan Siber. Tidak kalah penting, RUU Perlindungan Data Pribadi," pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar